Orang yang memiliki kecenderungan impulsive buying biasanya mengalami dorongan yang sangat kuat untuk membeli sesuatu. Dan seringkali dorongan untuk membeli ini tidak bisa dihentikan. Hal apapun dilakukan untuk mendapatkan barang yang diinginkannya meskipun dengan berhutang atau mencicil. Dan umumnya perilaku impulsive buying ini dilakukan sebagai pelampiasan dan terapi karena kelelahan, stress atau depresi atau karena desakan membeli karena sebuah situasi.
Impulsive buying juga disebut sebagai unplanned buying (pembelian tanpa rencana) karena sifatnya yang tiba-tiba dan spontan. Dan impulsive buying ini dilakukan dengan mengabaikan konsekuensi-konsekuensi dari pembelian. Impulsive buying bagi pelakunya menciptakan perasaan "senang" karena pengaruh hormon endorphine yang membanjiri otak saat aktivitas berbelanja dilakukan. Rasa senang ini akhirnya akan sirna kembali meninggalkan perasaan penyesalan ataupun perasaan rendah diri yang akhirnya memicu rasa ketagihan untuk melakukannya kembali sebagai bentuk obat atau terapi psikis.
Beberapa pencetus impulsive buying lebih karena dorongan emosional, rasa senang atau sedih yang berlebihan mengakibatkan pertimbangan rasional digantikan dengan dorongan nafsu berbelanja. Difasilitasi dengan promosi diskon, strategi pemasaran dan kemudahan pembayaran melalui cicilan 0% maka para impulsive buyer akan sulit untuk mengendalikan nafsu belanjanya. Apalagi bila lingkungan di sekitarnya mendukung aktivitas berbelanjanya. Biasanya orang dengan kecenderungan impulsive buying ini akan berkelompok dengan orang-orang sejenis yang mereka sebut sebagai "teman" hanya supaya tindakan belanja tanpa rencananya disetujui.
Di era konsumtif seperti saat ini perilaku impulsive buying sepertinya semakin berkembang. Di Amerika, 1 dari 20 orang yang kita temui adalah seorang impulsive buyer dan mayoritasnya adalah wanita. Setiap tahun angka ini terus meningkat. Sayangnya, data serupa belum bisa ditemukan di Indonesia. Namun menurut data AC Nielsen (2007) sekitar 85% pembeli di pusat belanja ritel moderen membeli sesuatu barang tanpa rencana. Jika dibiarkan, perilaku ini nantinya akan menimbulkan dampak pada kondisi keuangan seperti masalah kartu kredit, kebangkrutan, permasalahan rumah tangga bahkan hingga mengganggu konsentrasi dalam melakukan pekerjaan sehari-hari karena dalam beberapa kasus seorang impulsive buyer bisa menghabiskan waktu berjam-jam memilih dan melihat-lihat katalog belanja baik offline maupun online. Compulsive buying sebagaimana prilaku kelainan psikologis sejenis bisa dibenahi dengan melakukan pendekatan psikoterapi, pengobatan psikotropis atau melalui terapi keuangan. Seorang perencana keuangan yang memahami psikologi dibalik prilaku keuangan seseorang juga dapat membantu untuk keluar dari kebiasaan buruk ini agar bisa lebih bijak dalam mengelola keuangan.
Be Smart with Your Money!
(BR)
Impulsive buying juga disebut sebagai unplanned buying (pembelian tanpa rencana) karena sifatnya yang tiba-tiba dan spontan. Dan impulsive buying ini dilakukan dengan mengabaikan konsekuensi-konsekuensi dari pembelian. Impulsive buying bagi pelakunya menciptakan perasaan "senang" karena pengaruh hormon endorphine yang membanjiri otak saat aktivitas berbelanja dilakukan. Rasa senang ini akhirnya akan sirna kembali meninggalkan perasaan penyesalan ataupun perasaan rendah diri yang akhirnya memicu rasa ketagihan untuk melakukannya kembali sebagai bentuk obat atau terapi psikis.
Beberapa pencetus impulsive buying lebih karena dorongan emosional, rasa senang atau sedih yang berlebihan mengakibatkan pertimbangan rasional digantikan dengan dorongan nafsu berbelanja. Difasilitasi dengan promosi diskon, strategi pemasaran dan kemudahan pembayaran melalui cicilan 0% maka para impulsive buyer akan sulit untuk mengendalikan nafsu belanjanya. Apalagi bila lingkungan di sekitarnya mendukung aktivitas berbelanjanya. Biasanya orang dengan kecenderungan impulsive buying ini akan berkelompok dengan orang-orang sejenis yang mereka sebut sebagai "teman" hanya supaya tindakan belanja tanpa rencananya disetujui.
Di era konsumtif seperti saat ini perilaku impulsive buying sepertinya semakin berkembang. Di Amerika, 1 dari 20 orang yang kita temui adalah seorang impulsive buyer dan mayoritasnya adalah wanita. Setiap tahun angka ini terus meningkat. Sayangnya, data serupa belum bisa ditemukan di Indonesia. Namun menurut data AC Nielsen (2007) sekitar 85% pembeli di pusat belanja ritel moderen membeli sesuatu barang tanpa rencana. Jika dibiarkan, perilaku ini nantinya akan menimbulkan dampak pada kondisi keuangan seperti masalah kartu kredit, kebangkrutan, permasalahan rumah tangga bahkan hingga mengganggu konsentrasi dalam melakukan pekerjaan sehari-hari karena dalam beberapa kasus seorang impulsive buyer bisa menghabiskan waktu berjam-jam memilih dan melihat-lihat katalog belanja baik offline maupun online. Compulsive buying sebagaimana prilaku kelainan psikologis sejenis bisa dibenahi dengan melakukan pendekatan psikoterapi, pengobatan psikotropis atau melalui terapi keuangan. Seorang perencana keuangan yang memahami psikologi dibalik prilaku keuangan seseorang juga dapat membantu untuk keluar dari kebiasaan buruk ini agar bisa lebih bijak dalam mengelola keuangan.
Be Smart with Your Money!
(BR)
Comments
Post a Comment